Pulang sekolah, Toti main ke rumah Dodo. Rumahnya besar, halamannya luas. Di halaman rumah Dodo, Toti melihat burung-burung cantik dan bersuara merdu di dalam sangkar yang juga cantik. Toti senang sekali mendengar suara burung-burung itu, dia jadi ingin memelihara burung. Betapa menyenangkan kalau di rumah setiap hari ada suara kicau burung, pikirnya.
Toti berjalan dengan langkah cepat menuju rumahnya, dia ingin segera meminta ayahnya membelikan burung. Tapi Toti bingung, burung apa yang ingin dipelihara. Tak mungkin dia membeli macam-macam burung sekaligus, kan harganya mahal, pikir Toti. Di tengah perjalanan, ketika melewati odong-odong yang sedang dinaiki oleh anak-anak kecil, dia mendengar lagu yang disetel odong-odong, “Di pucuk pohon cempaka… buruuung kutilang berbunyi….” Dia pun akhirnya mendapatkan ide untuk membeli burung kutilang.
Di rumah, Toti merayu Ayahnya, “Ayah, Ayah waktu itu kan janji kalau Toti naik ke kelas 4, Ayah mau kasih Toti hadiah…,” kata Toti.
“Tapi kan waktu itu kamu bilang tidak usah repot-repot Ayah, yang penting Ayah selalu bisa antar Toti ke sekolah,” jawab ayahnya.
“Iya, tapi sekarang Toti ingin hadiahnya, lagipula Toti jarang minta hadiah sama ayah. Ya Yaah…,” pinta Toti.
“Baiklah Toti. Hadiah apa sih yang kamu inginkan?” tanya ayahnya.
“Burung kutilang... Toti ingin memelihara burung berkicau seperti Dodo. Toti seneeng banget mendengar kicau burung yang merdu,” kata Toti.
“Hmm.. Ok, tapi kamu harus janji ya, kamu akan merawat burung tersebut dengan baik dan memberinya makan dan minum setiap hari.
“Siap ayah, Toti janji! Terimakasih Ayah…!” seru Toti gembira, lalu memeluk ayahnya.
Keesokan harinya, ayah Toti membelikannya sepasang burung kutilang lengkap dengan kandangnya. Kata ayahnya, burung kutilang jantannya pernah menjuarai lomba. Toti gembira sekali, burung kutilangnya bersuara merdu dan rajin bernyanyi, terutama burung kutilang jantan, suaranya super merdu. Saat berkicau burung kutilang itu berputar-putar dan mengangguk-angguk seperti sedang menari. Jambul di kepalanya berdiri saat ia berkicau. Dia memberi nama burung jantannya “Bulang”.
Toti rajin memberi makanan setiap harinya, tidak lupa dia juga memberikan buah-buahan untuk kutilang kesayangannya. Kadang, ayahnya memberikan serangga-serangga kecil untuk makanan si Bulang.
Karena begitu merdunya suara si Bulang, Toti pun merekam burungnya itu dan membagikan videonya di facebook dan Youtube, teman-temannya yang melihatnya memuji suara burungnya. Bahkan, adap orang yang ingin membelinya dengan harga tinggi, tapi Toti tidak ingin menjualnya karena sudah sayang dengan burungnya itu.
Namun, kegembiraan Toti tidak berlangsung lama. Di suatu minggu pagi, Toti menemukan burung kutilang betina mati. Dia sedih sekali. Semenjak itu, si Bulang tidak mau berkicau, mungkin si Bulang juga sedih, pikir Toti. Berhari-hari burung kutilang jantan itu tak mau bernyanyi, Toti tambah sedih dan bingung. Makanan burungnya ia tambah dan diberi makanan yang lebih mahal, tapi si Bulang tetap tak mau berbunyi. Toti pun tambah bingung dan sedih memikirkan si Bulang.
Karena kasihan melihat Toti, Ayahnya kemudian membelikan lagi burung betina untuk menemani si Bulang. Tapi burung itu tetap tak mau berkicau, hanya burung betinanya saja yang berbunyi, itu pun suaranya kurang bagus. Toti kini selalu sedih memikirkan burungnya, di sekolah dan di rumah dia bermuka murung, semangat belajarnya pun turun, nilai ulangannya pun jadi jelek. Ayah dan ibunya menasehatinya agar tidak terlalu memikirkan burungnya. Ayahnya ingin membeli lagi sepasang burung kutilang lain yang juga bersuara bagus. Tapi Toti tidak mau, dia hanya ingin mendengar kembali suara si Bulang, burung kutilang kesayangannya itu.
Ayah dan ibu Toti khawatir melihat keadaan Toti. Di akhir pekan, mereka pergi ke rumah kakek di Bogor untuk meminta saran, mereka pun mengajak Toti agar ia bisa melupakan burungnya. Kakek senang sekali menyambut kedatangan Toti. Ayah Toti menceritakan keadaan Toti pada kakek. Kakek pun menghibur Toti dengan menceritakan kisah Nabi Sulaiman dan burung Hud-Hud. Toti senang mendengar cerita tersebut. Andai saja dia bisa bercakap-cakap dengan burungnya seperti Nabi Sulaiman, dia akan tahu mengapa burungnya enggan bernyanyi lagi. Sebelum tidur, Kakek berjanji akan mengajak Toti berjalan-jalan di pagi hari, melihat pemandangan yang indah di kaki gunung, tempat desa kakeknya berada.
Malam itu, kakek mengajak ayah dan ibu Toti untuk shalat tahajud dan berdoa memohon kepada Allah agar Toti kembali riang gembira. Kakek, Ayah, dan Ibu Toti pun melakukan shalat tahajud di sepertiga malam, mereka berdoa untuk kebahagiaan Toti dan keluarga mereka.
Dan pada malam itu pula, Toti bermimpi. Dia bertemu si Bulang. Namun, dalam mimpi itu mereka bisa bercakap-cakap. Ya, dalam mimpi itu Si Bulang bisa bicara. Si Bulang mengatakan, “Aku memang sedih ditinggal mati kutilang betina. Tapi yang membuatku sangat sedih adalah aku tak bisa terbang bebas di alam, terkurung di dalam sangkar. Sebelum kutilang betina mati, aku dan dia selalu berbincang tentang mimpiku terbang di alam bebas, menjelajahi alam sambil mencari makanan. Dia selalu semangat dan setia mendengar mimpi-mimpiku. Dan kami berjanji bila suatu saat bebas, kami akan tetap bersama. Aku sedih sekali.”
“Jadi, agar kau bahagia, aku harus melepaskanmu di alam bebas?” tanya Toti.
“Iya, hanya itu yang bisa membuatku bahagia,” jawab si Kutilang.
“Tapi aku sangat menyukai suaramu, Bulang. Kalau kau pergi, tak ada lagi suara indahmu…,” kata Toti.
“Tenang saja Toti, kalau kau melepaskanku, aku akan sering mengunjungimu dan berkicau di atas rumahmu. Tapi ada syaratnya…,” kata si Bulang.
“Apa syaratnya…?” tanya Toti.
“Tanamlah di depan rumahmu pohon cempaka atau pohon yang nantinya bisa tumbuh tinggi dan lebat…,” kata si Bulang.
“Memangnya kenapa…?” tanya Toti lagi. Tapi Si Bulang kemudian terbang tinggi meninggalkan Toti sendiri. “Bulang…! Bulaaang…!” Toti berteriak-teriak.
Kemudian,Toti mendengar ada yang memanggil namanya dan mengguncang-guncang tubuhnya. “Toti, bangun Nak, bangun…,” suara Ayah membangunkan Toti dari mimpi. Toti yang melihat ayahnya segera memeluknya.
“Ayah, Toti tadi mimpi Bulang Yah…,” kata Toti. Ayahnya menenangkan Toti dan mengusap-usap punggungnya. “Sudah sudah… sekarang kamu tenang dulu ya. Dan kebetulan ini sudah masuk waktu subuh, kita shalat subuh dulu. Ayo, kita shalat bareng kakek.”
Setelah shalat subuh, Toti menceritakan mimpinya pada kakek, ayah, dan ibunya. Kakek lalu berkata, “Nah, Kamu ingin tahu kan mengapa si Bulang ingin kamu menanam pohon cempaka atau pohon lainnya yang bisa tumbuh tinggi dan lebat?” tanyak Kakek.
“Iya, aku ingin tahu Kek. Memang kakek tahu jawabannya?” tanya Toti.
“Ayo, kakek jelaskan sambil kita jalan-jalan pagi. Kakek kan sudah janji tadi malam ingin mengajakmu berjalan-jalan melihat suasana desa di pagi hari,” kata kakek sambil tersenyum.
“Asyiiik! Ayo Kek kita jalan-jalan pagi,” sambut Toti dengan semangat.
Mereka berjalan ke luar rumah, melewati halaman rumah kakek yang dihiasi tanaman hias yang berwarna-warni. Mereka pun berjalan menyusuri jalan desa. Suasana desa di pagi hari begitu sejuk. Ya, desa ini masih asri, banyak pohon-pohon besar dan rindang di sekitarnya. Ketika berjalan, Toti mendengar suara kicau burung-burung di sekitarnya. “Kek, banyak suara burung!” kata Toti gembira. “Nah, banyak burung-burung bersuara indah kan? Dan burung-burung itu tidak ada orang yang memelihara, mereka bebas. Tapi mereka selalu ada di sekitar sini. Kamu tahu mengapa bisa begitu…?” tanya Kakek. Toti berpikir, lalu berkata, “Mungkin, mereka senang di sini karena banyak pohon-pohon besar ya Kek…?”
“Betul Toti. Pohon adalah rumah burung-burung di alam. Sekarang kamu paham kan mengapa si Bulang di dalam mimpimu ingin kamu menanam pohon?” kata kakek.
“Iya, sekarang aku paham. Kalau nanti ada pohon-pohon besar, pasti si Bulang dan burung-burung lainnya akan senang dan sering datang.” Kata Toti. “Dan aku sekarang sadar bahwa memelihara burung di dalam sangkar membuat burung menderita karena tidak bisa terbang ke sana kemari. Kasihan ya Kek…,” kata Toti lagi. Kakeknya mengangguk mengiyakan.
Sepulangnya dari desa, Toti pun melepaskan si Bulang, burung kutilang kesayangannya itu. Sebelum melepasnya, Toti berkata, “Hai Bulang, aku harap kau akan sering ke mari. Aku janji, tidak akan mengurungmu lagi. Dan aku akan menanam pohon cempaka agar kau dan teman-temanmu senang berada di sekitar sini. Sekarang terbanglah…,” kata Toti. Seperti mengerti apa yang dikatakan Toti, si Bulang menyahut dengan kicauan merdunya, Toti senang sekali mendengarnya. Si Bulang pun terbang diikuti burung kutilang betina hingga menghilang dari pandangan Toti. Toti sedikit sedih karena teringat masa-masa bersama si Bulang. Tapi Toti senang akhirnya burung kutilang itu ceria kembali. Dia pun membeli sebuah bibit pohon cempaka dan menanamnya di depan rumahnya.
Sebulan telah berlalu, setiap pagi Toti berharap si Bulang datang dan berkicau di atap rumahnya. Tapi yang datang hanyalah burung-burung pipit yang biasa terbang di sekitar rumah penduduk. Di pagi itu, Toti membawa alat untuk menyiram tanaman di depan rumah. Sambil bernyanyi, Toti menyemprot bunga-bunga krisan yang tampak segar disinari mentari pagi, tak lupa dia menyirami pohon cempaka yang masih kecil. Tiba-tiba terdengar sebuah kicauan merdu yang amat dikenalnya. Ya, itu suara si Bulang! Dia pun menoleh ke atap rumah. Dan benar saja, si Bulang ada di sana. Hei, tapi dia tidak sendiri, melainkan bersama teman-temannya. Mereka berkicau dengan merdunya, betapa girang hati Toti mendengarnya, dia pun segera berlari memanggil ayahnya, tak lupa dia mengambil makanan burung. Kemudian, Ayah Toti menebarkan makanan burung di atas atap. Bulang dan burung lainnya pun segera memakannya. Selesai makan, burung-burung itu pun berkicau kembali dengan merdunya. Kemudian, bulang pun mengangguk-angguk, seakan memberi tanda kalau dia ingin pamit, lalu mereka terbang tinggi menjelajahi alam bebas. Toti senang sekali si Bulang datang dan berharap akan datang lagi dan lagi…
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar