Sabtu, 15 Agustus 2015

Toti dan Burung Kesayangannya

Pulang sekolah, Toti main ke rumah Dodo. Rumahnya besar, halamannya luas. Di halaman rumah Dodo, Toti melihat burung-burung cantik dan bersuara merdu di dalam sangkar yang juga cantik. Toti senang sekali mendengar suara burung-burung itu, dia jadi ingin memelihara burung. Betapa menyenangkan kalau di rumah setiap hari ada suara kicau burung, pikirnya.

Toti berjalan dengan langkah cepat menuju rumahnya, dia ingin segera meminta ayahnya membelikan burung. Tapi Toti bingung, burung apa yang ingin dipelihara. Tak mungkin dia membeli macam-macam burung sekaligus, kan harganya mahal, pikir Toti. Di tengah perjalanan, ketika melewati odong-odong yang sedang dinaiki oleh anak-anak kecil, dia mendengar lagu yang disetel odong-odong, “Di pucuk pohon cempaka… buruuung kutilang berbunyi….” Dia pun akhirnya mendapatkan ide untuk membeli burung kutilang.

Di rumah, Toti merayu Ayahnya, “Ayah, Ayah waktu itu kan janji kalau Toti naik ke kelas 4, Ayah mau kasih Toti hadiah…,” kata Toti.
“Tapi kan waktu itu kamu bilang tidak usah repot-repot Ayah, yang penting Ayah selalu bisa antar Toti ke sekolah,” jawab ayahnya.
“Iya, tapi sekarang Toti ingin hadiahnya, lagipula Toti jarang minta hadiah sama ayah. Ya Yaah…,” pinta Toti.
“Baiklah Toti. Hadiah apa sih yang kamu inginkan?” tanya ayahnya.
“Burung kutilang... Toti ingin memelihara burung berkicau seperti Dodo. Toti seneeng banget mendengar kicau burung yang merdu,” kata Toti.
“Hmm.. Ok, tapi kamu harus janji ya, kamu akan merawat burung tersebut dengan baik dan memberinya makan dan minum setiap hari.
“Siap ayah, Toti janji! Terimakasih Ayah…!” seru Toti gembira, lalu memeluk ayahnya.

Keesokan harinya, ayah Toti membelikannya sepasang burung kutilang lengkap dengan kandangnya. Kata ayahnya, burung kutilang jantannya pernah menjuarai lomba. Toti gembira sekali, burung kutilangnya bersuara merdu dan rajin bernyanyi, terutama burung kutilang jantan, suaranya super merdu. Saat berkicau burung kutilang itu berputar-putar dan mengangguk-angguk seperti sedang menari. Jambul di kepalanya berdiri saat ia berkicau. Dia memberi nama burung jantannya “Bulang”.

Toti rajin memberi makanan setiap harinya, tidak lupa dia juga memberikan buah-buahan untuk kutilang kesayangannya. Kadang, ayahnya memberikan serangga-serangga kecil untuk makanan si Bulang.

Karena begitu merdunya suara si Bulang, Toti pun merekam burungnya itu dan membagikan videonya di facebook dan Youtube, teman-temannya yang melihatnya memuji suara burungnya. Bahkan, adap orang yang ingin membelinya dengan harga tinggi, tapi Toti tidak ingin menjualnya karena sudah sayang dengan burungnya itu.

Namun, kegembiraan Toti tidak berlangsung lama. Di suatu minggu pagi, Toti menemukan burung kutilang betina mati. Dia sedih sekali. Semenjak itu, si Bulang tidak mau berkicau, mungkin si Bulang juga sedih, pikir Toti. Berhari-hari burung kutilang jantan itu tak mau bernyanyi, Toti tambah sedih dan bingung. Makanan burungnya ia tambah dan diberi makanan yang lebih mahal, tapi si Bulang tetap tak mau berbunyi. Toti pun tambah bingung dan sedih memikirkan si Bulang.

Karena kasihan melihat Toti, Ayahnya kemudian membelikan lagi burung betina untuk menemani si Bulang. Tapi burung itu tetap tak mau berkicau, hanya burung betinanya saja yang berbunyi, itu pun suaranya kurang bagus. Toti kini selalu sedih memikirkan burungnya, di sekolah dan di rumah dia bermuka murung, semangat belajarnya pun turun, nilai ulangannya pun jadi jelek. Ayah dan ibunya menasehatinya agar tidak terlalu memikirkan burungnya. Ayahnya ingin membeli lagi sepasang burung kutilang lain yang juga bersuara bagus. Tapi Toti tidak mau, dia hanya ingin mendengar kembali suara si Bulang, burung kutilang kesayangannya itu.

Ayah dan ibu Toti khawatir melihat keadaan Toti. Di akhir pekan, mereka pergi ke rumah kakek di Bogor untuk meminta saran, mereka pun mengajak Toti agar ia bisa melupakan burungnya. Kakek senang sekali menyambut kedatangan Toti. Ayah Toti menceritakan keadaan Toti pada kakek. Kakek pun menghibur Toti dengan menceritakan kisah Nabi Sulaiman dan burung Hud-Hud. Toti senang mendengar cerita tersebut. Andai saja dia bisa bercakap-cakap dengan burungnya seperti Nabi Sulaiman, dia akan tahu mengapa burungnya enggan bernyanyi lagi. Sebelum tidur, Kakek berjanji akan mengajak Toti berjalan-jalan di pagi hari, melihat pemandangan yang indah di kaki gunung, tempat desa kakeknya berada.

Malam itu, kakek mengajak ayah dan ibu Toti untuk shalat tahajud dan berdoa memohon kepada Allah agar Toti kembali riang gembira. Kakek, Ayah, dan Ibu Toti pun melakukan shalat tahajud di sepertiga malam, mereka berdoa untuk kebahagiaan Toti dan keluarga mereka.

Dan pada malam itu pula, Toti bermimpi. Dia bertemu si Bulang. Namun, dalam mimpi itu mereka bisa bercakap-cakap. Ya, dalam mimpi itu Si Bulang bisa bicara. Si Bulang mengatakan, “Aku memang sedih ditinggal mati kutilang betina. Tapi yang membuatku sangat sedih adalah aku tak bisa terbang bebas di alam, terkurung di dalam sangkar. Sebelum kutilang betina mati, aku dan dia selalu berbincang tentang mimpiku terbang di alam bebas, menjelajahi alam sambil mencari makanan. Dia selalu semangat dan setia mendengar mimpi-mimpiku. Dan kami berjanji bila suatu saat bebas, kami akan tetap bersama. Aku sedih sekali.”
“Jadi, agar kau bahagia, aku harus melepaskanmu di alam bebas?” tanya Toti.
“Iya, hanya itu yang bisa membuatku bahagia,” jawab si Kutilang.
“Tapi aku sangat menyukai suaramu, Bulang. Kalau kau pergi, tak ada lagi suara indahmu…,” kata Toti.
“Tenang saja Toti, kalau kau melepaskanku, aku akan sering mengunjungimu dan berkicau di atas rumahmu. Tapi ada syaratnya…,” kata si Bulang.
“Apa syaratnya…?” tanya Toti.
“Tanamlah di depan rumahmu pohon cempaka atau pohon yang nantinya bisa tumbuh tinggi dan lebat…,” kata si Bulang.
“Memangnya kenapa…?” tanya Toti lagi. Tapi Si Bulang kemudian terbang tinggi meninggalkan Toti sendiri. “Bulang…! Bulaaang…!” Toti berteriak-teriak.

Kemudian,Toti mendengar ada yang memanggil namanya dan mengguncang-guncang tubuhnya. “Toti, bangun Nak, bangun…,” suara Ayah membangunkan Toti dari mimpi. Toti yang melihat ayahnya segera memeluknya.
“Ayah, Toti tadi mimpi Bulang Yah…,” kata Toti. Ayahnya menenangkan Toti dan mengusap-usap punggungnya. “Sudah sudah… sekarang kamu tenang dulu ya. Dan kebetulan ini sudah masuk waktu subuh, kita shalat subuh dulu. Ayo, kita shalat bareng kakek.”

Setelah shalat subuh, Toti menceritakan mimpinya pada kakek, ayah, dan ibunya. Kakek lalu berkata, “Nah, Kamu ingin tahu kan mengapa si Bulang ingin kamu menanam pohon cempaka atau pohon lainnya yang bisa tumbuh tinggi dan lebat?” tanyak Kakek.
 “Iya, aku ingin tahu Kek. Memang kakek tahu jawabannya?” tanya Toti.
“Ayo, kakek jelaskan sambil kita jalan-jalan pagi. Kakek kan sudah janji tadi malam ingin mengajakmu berjalan-jalan melihat suasana desa di pagi hari,” kata kakek sambil tersenyum.
“Asyiiik! Ayo Kek kita jalan-jalan pagi,” sambut Toti dengan semangat.

Mereka berjalan ke luar rumah, melewati halaman rumah kakek yang dihiasi tanaman hias yang berwarna-warni. Mereka pun berjalan menyusuri jalan desa. Suasana desa di pagi hari begitu sejuk. Ya, desa ini masih asri, banyak pohon-pohon besar dan rindang di sekitarnya. Ketika berjalan, Toti mendengar suara kicau burung-burung di sekitarnya. “Kek, banyak suara burung!” kata Toti gembira. “Nah, banyak burung-burung bersuara indah kan? Dan burung-burung itu tidak ada orang yang memelihara, mereka bebas. Tapi mereka selalu ada di sekitar sini. Kamu tahu mengapa bisa begitu…?” tanya Kakek. Toti berpikir, lalu berkata, “Mungkin, mereka senang di sini karena banyak pohon-pohon besar ya Kek…?”
“Betul Toti. Pohon adalah rumah burung-burung di alam. Sekarang kamu paham kan mengapa si Bulang di dalam mimpimu ingin kamu menanam pohon?” kata kakek.
“Iya, sekarang aku paham. Kalau nanti ada pohon-pohon besar, pasti si Bulang dan burung-burung lainnya akan senang dan sering datang.” Kata Toti. “Dan aku sekarang sadar bahwa memelihara burung di dalam sangkar membuat burung menderita karena tidak bisa terbang ke sana kemari. Kasihan ya Kek…,” kata Toti lagi. Kakeknya mengangguk mengiyakan.

Sepulangnya dari desa, Toti pun melepaskan si Bulang, burung kutilang kesayangannya itu. Sebelum melepasnya, Toti berkata, “Hai Bulang, aku harap kau akan sering ke mari. Aku janji, tidak akan mengurungmu lagi. Dan aku akan menanam pohon cempaka agar kau dan teman-temanmu senang berada di sekitar sini. Sekarang terbanglah…,” kata Toti. Seperti mengerti apa yang dikatakan Toti, si Bulang menyahut dengan kicauan merdunya, Toti senang sekali mendengarnya. Si Bulang pun terbang diikuti burung kutilang betina hingga menghilang dari pandangan Toti. Toti sedikit sedih karena teringat masa-masa bersama si Bulang. Tapi Toti senang akhirnya burung kutilang itu ceria kembali. Dia pun membeli sebuah bibit pohon cempaka dan menanamnya di depan rumahnya.

Sebulan telah berlalu, setiap pagi Toti berharap si Bulang datang dan berkicau di atap rumahnya. Tapi yang datang hanyalah burung-burung pipit yang biasa terbang di sekitar rumah penduduk. Di pagi itu, Toti membawa alat untuk menyiram tanaman di depan rumah. Sambil bernyanyi, Toti menyemprot bunga-bunga krisan yang tampak segar disinari mentari pagi, tak lupa dia menyirami pohon cempaka yang masih kecil. Tiba-tiba terdengar sebuah kicauan merdu yang amat dikenalnya. Ya, itu suara si Bulang! Dia pun menoleh ke atap rumah. Dan benar saja, si Bulang ada di sana. Hei, tapi dia tidak sendiri, melainkan bersama teman-temannya. Mereka berkicau dengan merdunya, betapa girang hati Toti mendengarnya, dia pun segera berlari memanggil ayahnya, tak lupa dia mengambil makanan burung. Kemudian, Ayah Toti menebarkan makanan burung di atas atap. Bulang dan burung lainnya pun segera memakannya. Selesai makan, burung-burung itu pun berkicau kembali dengan merdunya. Kemudian, bulang pun mengangguk-angguk, seakan memberi tanda kalau dia ingin pamit, lalu mereka terbang tinggi menjelajahi alam bebas. Toti senang sekali si Bulang datang dan berharap akan datang lagi dan lagi…

****


Selasa, 04 Agustus 2015

Gadis Kecil Penjual Lilin

Namanya Arin, semenjak kakeknya meninggal, gadis kecil itu merasa sedih, merenungi kehidupannya yang kini sebatang kara. Arin tidak bisa sekolah lagi, kini tak ada lagi yang membiayai sekolahnya. Peninggalan kakeknya hanyalah sebuah gubuk reyot yang sudah hampir rubuh dengan halaman tempat bertanam ubi kayu dan ubi jalar. Untuk makan sehari-hari, Arin pergi ke hutan di pinggir desa untuk mencari buah-buahan dan mencari ikan ke sungai di kaki bukit. Kadang-kadang ada tetangganya yang mengantarkan makanan untuknya.
Suatu hari, saat Arin mencari ikan di sungai, tiba-tiba terdengar teriakan dari tepi sungai, “Hai gadis kecil! Bolehkah aku minta satu ikannya…? Aku sangat lapar…!” teriak orang di tepi sungai. Arin segera menoleh melihat orang itu. Rupanya seorang nenek-nenek, memakai topi lebar dengan membawa sebuah kotak besar.
“Sebentar Nek, aku ke tepian dulu!” teriak Arin. Gadis kecil itu segera menuju ke tepi sungai sambil membawa bumbung berisi ikan.
“Wah.. ikanmu banyak sekali. Pintar sekali kamu mencari ikan, gadis kecil,” kata nenek tersebut sambil melepas topinya, rambutnya sudah putih semua.
“Alhamdulillah Nek. Selalu ada saja ikan yang lewat di depanku minta ditangkap,” kata Arin tersenyum lebar, nenek itu pun tertawa.
 “Oh ya, sekalian saja ya Nek aku bakarkan ikannya,” kata Arin sambil menyiapkan kayu bakar.
“Terimakasih Nak, kamu baik sekali. Siapa namamu?” tanya nenek tersebut.
“Namaku Arin Nek. Nama nenek siapa?” tanya Arin. “Nama nenek Genuk, Nak,” jawab nenek tersebut. “Ooh… Nenek Genuk? Nama nenek lucu, ya?” kata Arin sambil tersenyum, si Nenek pun ikut tersenyum.
Arin segera menyalakan api dan membakar kayu. Empat ekor ikan yang cukup besar ditusuk dengan bambu panjang dan diletakkan di atas api. Arin mengipas-ngipas panggangannya.
“Arin, kok kamu sendirian mencari ikan?” tanya nenek Genuk.
“Ya, karena aku memang tinggal sendirian, Nek,” jawab Arin.
“Memang ke mana orangtuamu?” tanya Nenek Genuk.
“Semenjak lahir aku belum pernah melihat orangtuaku, Nek. Selama ini aku tinggal dengan kakekku, tapi… sebulan yang lalu kakekku meninggal dunia,” jawab Arin, matanya berkaca-kaca.
“Kamu tidak bermain bersama teman-temanmu?” tanya Nenek Genuk lagi.
“Kalau jam segini teman-temanku kan sekolah, Nek,” jawab Arin tersenyum.
“Oh iya, ya. Kamu tidak sekolah?” tanya Nenek Genuk.
“Iya Nek, tidak ada uang untuk biaya sekolah. Harusnya aku sudah kelas 4. Padahal, aku ingin sekali sekolah yang tinggi dan jadi dokter,” jawab Arin sambil membalik panggangannya. Nenek Genuk mengangguk-angguk, hatinya sedih mendengar cerita gadis kecil itu.
Tidak berapa lama, ikan panggangan Arin pun matang. Mereka makan bersama. Rasa ikan bakar yang baru ditangkap memang enak sekali, nenek Genuk sampai geleng-geleng kepala menikmatinya.
“Arin, maukah kamu membantu nenek?” tanyak nenek Genuk setelah makan.
“Apa yang bisa Arin bantu, Nek?” tanya Arin.
“Nenek sudah tua, sudah tidak kuat lagi berjalan jauh-jauh untuk berjualan lilin,” kata si Nenek.
“Oh, jadi nenek Genuk penjual lilin. Mana lilinnya, Nek?” tanya Arin.
“Itu, di dalam kotak besar itu,” kata Nenek Genuk sambil menunjuk kotak besar yang dibawanya.
“Wah… banyak sekali. Lilin-lilin itu nenek buat sendiri?” tanya Arin lagi. Nenek Genuk menggangguk,”Iya, nak.”
“Terus, apa yang bisa kubantu, Nek?” tanya Arin.
“Nenek minta Arin membantu nenek untuk berjualan lilin,” kata nenek Genuk.
Arin terlihat berpikir. “Tapi aku tidak kuat kalau harus mengangkat kotak lilin sebesar itu…,” kata Arin.
“Jangan khawatir, Arin. Nenek punya kok kotak yang lebih kecil, sesuai dengan besar tubuhmu,” kata Nenek Genuk. “Dari hasil penjualan lilin-lilin itu, kan nantinya kamu bisa pakai untuk membayar biaya sekolah.”
Arin tampak bersemangat mendengarnya, “Ya Nek, Arin siap membantu. Arin ingin sekolah lagi.”
Nenek Genuk tersenyum. “Nah, sekarang kamu ke rumah nenek ya untuk mengambil kotak lilinnya agar besok kamu bisa mulai jualan,” kata Nenek Genuk.
“Sebentar ya Nek, Arin mau taruh ikan-ikan ini di rumah. Rumah Arin dekat kok dari sini. Nenek tunggu sini, ya,” kata Arin. Dia segera berlari menuju rumah sambil berteriak, “Aku akan sekolah lagiii…!”
Arin pergi ke rumah nenek Genuk di kampung sebelah, jaraknya sekitar 2 kilometer dari rumahnya. Rumah nenek Genuk sederhana, tapi cukup besar dan halamannya luas. Rupanya, di rumah yang besar itu sebagian ruangannya digunakan untuk membuat lilin. Arin melihat banyak sekali lilin, bentuknya pun macam-macam, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Ada juga yang berbentuk seperti bunga, warnanya pun beraneka ragam. Arin menoleh ke sana kemari, sepi sekali rumah ini, pikirnya.
“Nenek Genuk tinggal sendiri, ya?” tebak Arin. “Iya Rin, nenek tinggal sendiri. Tidak ada yang membantu nenek. Untuk itulah nenek meminta bantuanmu,” jawab nenek Genuk.
“Silakan kamu duduk dulu Arin, nenek akan buatkan minuman,” kata nenek Genuk sambil menuju ke bagian belakang rumah.
Tidak berapa lama nenek Genuk muncul sambil membawa 2 cangkir teh hangat dan sebuah teko teh. “Ayo, diminum Rin, nenek tidak punya apa-apa, hanya teh saja,” kata nenek Genuk.
“Terimakasih banyak, Nek,” kata Arin sambil mengambil secangkir teh di depannya. Segera diminumnya teh tersebut sampai habis, rupanya dia kehausan setelah menempuh perjalanan tadi.
  Nenek Genuk pergi ke ruangan samping tempat pembuatan lilin dan kembali ke ruang depan dengan membawa sebuah kotak yang agak kecil berisi penuh lilin.
 “Arin, ini dia kotak lilinnya. Sudah nenek isi dengan beragam jenis lilin. Nanti kamu tawarkan dari rumah ke rumah, ke semua orang di desamu, ya?” kata nenek Genuk sambil memberikan kotak tersebut ke Arin.
 “Siap Nek!” kata Arin, lalu menerima kotak lilin tersebut.
 “Satu pesan nenek, jangan cepat menyerah. Kalau belum laku, berjalanlah terus, insya Allah, nanti pasti juga akan ada yang beli,” kata nenek Genuk.
 “Iya, Nek. Doakan ya Nek biar cepat laku,” pinta Arin. “Ya, pasti nenek doakan,” kata nenek Genuk sambil tersenyum.
Kemudian, Arin pamit pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Arin membayangkan orang-orang membeli lilin-lilinnya dan dia mendapatkan uang yang banyak.

Keesokan harinya….
Pagi-pagi Arin sudah siap di depan gubuknya dengan kotak lilin dagangannya. Sejak subuh tadi, Arin sudah tak sabar ingin memulai berjualan lilin. Dia memakai topi rotan peninggalan kakeknya, memakai kemeja dan celana panjang, serta memakai sepatu dan kaos kaki yang biasa digunakan ke sekolah dulu. Sekarang, waktunya berangkat, pikir Arin. “Bismillahirrahmanirrahim…,” ucap Arin, dia pun segera melangkahkan kakinya.
Baru sampai di depan rumah, teman-teman Arin lewat di depan rumahnya. Mereka hendak pergi ke sekolah. Melihat Arin, mereka tertawa.
“Hihihihi… Arin, kamu lucu banget sih. Mau ke sawah, mau piknik, atau mau ke hutan cari kupu-kupu?” kata Bonita, teman Arin yang paling ceriwis, sambil memandangi Arin dari atas ke bawah. Teman-teman yang lainnya berbisik-bisik membicarakan penampilan Arin yang menurut mereka aneh.
“Memangnya kenapa? Orang aku mau jualan kok,” jawab Arin lugu.
“Jualan? Hihihihi…. Sejak kapan kamu jualan? Emang apa sih yang kamu jual?” tanya Bonita.
“Nih, lihat di dalam kotak ini. Aku menjual lilin. Ada lilin yang biasa, ada juga lilin hias. Warnanya pun macam-macam. Kalian mau beli?”
“Ya ampun Rin, di jaman serba canggih gini kamu masih jualan lilin? Pliiis deh… rumah kita udah terang benderang sama lampu. Di tamanku aja lampu-lampunya segede-gede bola piala dunia. Nggak perlu lilin, kalee…,” kata Bonita sombong.
“ Ya mungkin kamu memang nggak butuh lilin Bon, tapi mungkin aja yang lain butuh,” ucap Arin.
“Sama aja, kalee… yang lain juga udah punya lampu. Kecuali kamu Rin… Ya nggak teman-teman?” kata Bonita meminta persetujuan teman-temannya. Teman-temannya hanya diam.
“Udah Bon, biarin aja si Arin jualan lilin, ngurusin amat sih? Cepet ah kita berangkat, udah mau telat nih,” kata Dina yang bete melihat keceriwisan Bonita. Mereka pun segera berlalu dari hadapan Arin.
Sejenak Arin pun termenung memikirkan kata-kata Bonita. Ada benarnya juga yang dikatakan Bonita, Desa ini sudah terang benderang saat malam hari karena sudah sejak lama listrik masuk ke desa mereka. Tapi kan kadang-kadang mati lampu juga saat ada perbaikan kabel listrik yang rusak, pikir Arin.
“Ah, pasti masih ada yang membutuhkan lilin ini. Seperti kata nenek Genuk, Aku tidak boleh menyerah,” kata Arin dalam hati, menyemangati dirinya sendiri. Arin pun melangkahkan kakinya kembali untuk berjualan lilin.
Arin berkeliling dari rumah ke rumah, ia menawarkan lilin kepada para penduduk, namun sampai siang belum juga ada yang membeli lilinnya. Karena lelah, dia beristirahat di dekat sebuah warung makan. Perutnya terasa lapar, lebih-lebih ketika melihat orang-orang yang sedang makan tersebut. “Rupanya begini rasanya orang cari uang, lelah, panas, dan lapar…,” kata Arin dalam hati.
Tiba-tiba di sampingnya sudah berdiri seorang ibu dan berkata padanya , “Nak, kamu jualan lilin ya?”
Arin agak kaget dan menjawab, “Eh, iya Bu, aku jualan lilin? Ibu mau beli...?”
“Iya, aku mau beli untuk warungku, untuk mengusir lalat agar tidak mengganggu orang-orang yang makan,” kata ibu yang ternyata pemilik warung.
“Mau beli lilin yang mana Bu?” tanya Arin.
“Yang itu, yang biasa saja. Aku mau beli 10 lilin,” kata ibu pemilik warung. Arin segera memberikan lilin kepada ibu pemilik warung. “Berapa harganya, Nak?” tanyanya. “Lima ribu, Bu,” kata Arin. Ibu pemilik warung memberikan uangnya pada Arin. “Terima kasih banyak, Bu,” kata Arin sambil tersenyum. Ibu pemilik warung mengangguk, lalu berkata, “Nak, aku baru melihatmu berjualan lilin. Biasanya di daerah ini hanya nenek Genuk yang berjualan lilin. Dari
 tadi aku menunggu nenek Genuk, tapi tidak muncul-muncul.”
“Nenek Genuk sudah tidak kuat berjalan jauh, jadi aku menggantikannya berjualan lilin mulai hari ini,” jawab Arin.
“Oh... begitu ya. Siapa namamu, Nak?” tanya ibu pemilik warung.
“Namaku Arin, kalau nama Ibu?” tanya Arin.
“Panggil saja aku bu Gumbret,” kata ibu pemilik warung. “Ibu lihat kamu lelah sekali Arin... Ayo masuk dulu ke warung ibu, minum dulu. Tidak usah sungkan-sungkan...,” kata bu Gumbret sambil tersenyum. Arin pun mengikuti Bu Gumbret masuk ke warung dan duduk di sana. Tidak berapa lama bu Gumbret membawakannya sepiring nasi dengan ayam goreng dan semangkuk sayur asam. “Ini Arin, makanlah. Tenang saja, gratis untuk kamu,” kata bu Gumbret. “Wah… terima kasih banyak Bu Gumbret,” kata Arin gembira, dia pun makan dengan lahapnya.

Selesai makan, Arin pamit meneruskan berjualan lilin. Sebelum Arin pergi, Bu Gumbret mengatakan pada Arin bahwa setiap 2 hari sekali ia akan membeli lilin Arin . Arin senang sekali mendengar hal itu. Dia pun meneruskan berjualan dengan hati ceria. Namun, sampai menjelang sore belum ada lagi yang membeli lilinnya. Tapi dia tetap senang dan tetap bersyukur, walaupun sedikit yang penting ada hasilnya, kata Arin dalam hati.

Hari sudah sore, Arin bergegas ke rumah nenek Genuk untuk mengantarkan uang hasil jualannya. Dia pun sampai ke rumah nenek Genuk. “Assalamu’alaikum... Nenek Genuk, aku datang...,” kata Arin sambil mengetuk pintu. “Wa’alaikumsalam. Masuklah Arin,” kata nenek Genuk sambil membukakan pintu.
Arin masuk ke dalam rumah. Dia segera mengeluarkan uang hasil penjualan lilinnya. “Ini Nek uang hasil penjualan lilinnya, maaf cuma sedikit yang terjual,” kata Arin menyerahkan uang hasil jualan lilin.
“Oh, tidak apa-apa Arin. Wajar hasilnya sedikit, karena kamu kan juga baru pertama kali berjualan,” kata nenek Genuk. Kemudian, ia memberikan sebagian uang tersebut ke Arin sebagai upah menjual lilin. “Ini upah buatmu Rin. Terima kasih ya telah membantu Nenek hari ini. Silakan duduk Rin, biar nenek buatkan teh manis hangat untukmu” kata Nenek Genuk.
“Arin juga terima kasih sama nenek, hari ini Arin jadi punya uang deh. Tapi tidak usah repot-repot Nek bikinin minum untuk Arin, biar Arin ambil sendiri ke dapur,” kata Arin.
“Tak apa Rin. Nenek senang kok membuatkan minuman untukmu. Lagipula seharian ini nenek cuma istirahat saja,” kata Nenek Genuk. Ia langsung menuju dapur. Beberapa saat kemudian nenek Genuk keluar membawa teh manis dan sepiring singkong rebus.
“Silakan diminum Rin. Ini ada singkong rebus, masih hangat, enak dimakan sore-sore begini. Kamu pasti lapar, kan? Tapi maaf ya, nenek cuma punya singkong saja…,” kata nenek Genuk sambil tersenyum.”
Arin segera menyeruput teh manisnya dan memakan singkong rebus tersebut. “Ah, enak banget nek singkongnya. Kenyang aku Nek,” kata Arin sambil mengusap-usap perutnya.
Nenek Genuk mendekat ke Arin, lalu berkata, “Rin, nenek ingin malam ini kamu menginap di sini. Nenek ingin mengajarimu membuat lilin. Tenaga nenek semakin lemah, rasanya sudah tak sanggup membuat lilin yang banyak. Kamu mau, kan?” pinta nenek Genuk.
“Oh, mau Nek. Sebenernya dari kemarin Arin juga penasaran bagaimana cara membuat lilin….,” kata Arin. Nenek Genuk tersenyum senang mendengar jawaban Arin.
Setelah shalat isya, nenek mengajari Arin membuat lilin, mulai dari mengenalkan bahan-bahannya, proses pembuatannya, sampai cara membentuknya menjadi lilin-lilin yang indah. Arin yang cerdas cepat memahaminya. Malam itu Arin merasa senang sekali karena mendapatkan ilmu baru, ilmu membuat lilin. Malam itu pula Arin susah tidur memikirkan bagaimana cara memasarkan lilinnya agar banyak terjual.

Hari demi hari, Arin makin pandai membuat lilin. Pembeli lilinnya pun makin hari makin bertambah. Tabungan Arin semakin banyak. Mendekati tahun ajaran baru masuk sekolah, Arin menghitung tabungannya, sudah cukup banyak, pasti cukup untuk biaya sekolahnya pikirnya.

Suatu pagi, seperti biasa, Arin ke rumah nenek Genuk untuk mengambil lilin-lilin untuk dijual. Dia pun mengetuk pintu sambil mengucap salam, tapi nenek Genuk tak juga membukakan pintu. Arin pun segera memutar masuk lewat pintu belakang yang tidak terkunci. Betapa terkejutnya Arin melihat nenek genuk tergeletak di lantai, wajahnya terlihat pucat menahan sakit.

“Nenek kenapa Nek…?” Arin panik melihat keadaan nenek Genuk. Arin berusaha mengangkat nenek genuk ke tempat tidur, tapi tidak bisa, ia berusaha lagi, tapi memang tenaganya tidak kuat mengangkat nenek Genuk.

“Arin… sudah Arin… tidak usah repot-repot. Nenek tidak apa-apa, cuma sedikit sakit, sebentar juga sudah hilang,” kata Nenek Genuk, wajahnya semakin pucat dan akhirnya nenek Genuk pingsan. Arin berteriak-teriak minta tolong. Suaranya terdengar oleh para tetangga, mereka pun berdatangan. Nenek Genuk pun dibawa ke rumah sakit, Arin mendampinginya.

Di rumah sakit, nenek Genuk diinfus. Arin menunggu di sampingnya, ia berharap nenek yang baik itu sadar. Arin menungguinya sampai terkantuk-kantuk dan akhirnya tertidur. Beberapa jam kemudian, Nenek Genuk sadar, dia melihat Arin di sisinya sedang tertidur, dia pun mengelus-elus kepala Arin. Arin terbangun, melihat nenek Genuk sadar, Arin sangat senang sekali, lalu memeluknya.
“Arin, nenek sangat berterima kasih kepadamu. Kamu telah membantu nenek berjualan lilin, dan sekarang sudah membantu nenek ke rumah sakit, bahkan kamu menunggui nenek sampai tertidur,” kata Nenek Genuk. “Ah, Nenek tidak usah berterima kasih, ini kan memang kewajiban Arin menolong nenek,” kata Arin sambil tersenyum.

Nenek Genuk menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Namun, kondisinya bukan makin baik, malah sebaliknya, makin buruk. Di hari kelima di rumah sakit, Nenek Genuk berpesan kepada Arin, “Arin, nenek tidak punya siapa-siapa, hanya kamu teman nenek. Nenek ingin memberikan rumah nenek dan semua isinya untukmu,” kata nenek Genuk, nafasnya terlihat berat.

“Mengapa Nenek berkata begitu? Kan nanti Nenek akan pulang. Aku juga kan sudah punya rumah peninggalan kakekku,” kata Arin, matanya berkaca-kaca.

“Iya Rin, nenek akan pulang, tapi pulang ke tempat lain, ke tempat yang amaaat tenang,” ucap nenek Genuk, tubuhnya makin lemah. “Tolong kamu jangan menolak ya Arin. Dan… Nenek minta maaf atas semua kesalahan nenek, ya?” kata Nenek Genuk.

“Nenek nggak punya salah sama Arin. Arin yang minta maaf…,” jawab Arin makin sedih.
“Kamu gak punya salah apa-apa Arin. Nenek cuma pesan, teruslah membuat dan berjualan lilin karena itu berguna untukmu dan juga orang lain… Nenek pamit Arin. Semoga kita bisa berkumpul di surga nanti….”
Nenek genuk menutup matanya, kepalanya terkulai, tubuhnya tak bergerak. Ya, nenek genuk telah pergi meninggalkan dunia ini. Arin memanggil-manggil nenek Genuk, menggoyang-goyangkan badannya. Arin segera berlari menuju ke ruangan perawat untuk meminta pertolongan. Dokter dan perawat pun segera mengunjungi kamar nenek genuk. Dokter segera memeriksa denyut nadi dan nafas nenek Genuk. Dokter melirik ke arah perawat, memberikan tanda bahwa nenek Genuk telah tiada.
“Nak, maaf, nenekmu telah meninggal. Beliau sudah tenang di alam sana. Kamu ikhlaskan kepergiannya ya…,” kata dokter sambil memegang pundak Arin. Arin menangis dan segera memeluk tubuh nenek Genuk. Pihak Rumah sakit segera mengurus persiapan pemakaman nenek Genuk. Nenek Genuk dimakamkan di kuburan desa, tidak jauh dari rumahnya.

***

Beberapa hari setelah meninggalnya nenek Genuk…

Arin duduk di teras rumah almarhum nenek Genuk, yang sekarang menjadi miliknya. Sepi, tak ada lagi yang mengajaknya ngobrol seperti dulu. Setelah meninggalnya nenek Genuk, Arin sebenarnya tak ingin ke rumah ini lagi karena ia pasti akan sedih. Tapi ia ingat pesan nenek Genuk agar terus membuat dan menjual lilin. Ia pun akhirnya ke rumah ini lagi untuk kembali membuat lilin. Lagipula tabungannya telah habis untuk membiayai nenek genuk saat di rumah sakit. Kalau dia berhenti menjual lilin, maka dia tak bisa menabung lagi untuk sekolah.
Arin pun kemudian berdiri hendak pergi ke dalam rumah, ia ingin segera membuat lilin. Saat Arin baru melangkahkan kakinya ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara halilintar yang sangat keras. Hujan pun turun disertai angin yang sangat kencang. Arin segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Pohon-pohon bergoyang-goyang ke sana kemari, angin kali ini begitu kencang hingga menumbangkan beberapa pohon di tepi jalan. Arin ketakutan, dia mengurungkan niatnya untuk membuat lilin. Hujan yang mengerikan itu berlangsung cukup lama, dari siang hari sampai malam hari. Lampu-lampu rumah dan di jalan padam. Arin akhirnya bermalam di rumah nenek Genuk.

Keesokan harinya, subuh-subuh Arin sudah bangun. Dia pun segera mengambil wudhu dan shalat subuh. Arin berdoa dengan khusyuk, meminta kebahagiaan hidup kepada Allah. Setelah matahari muncul, Arin keluar dari rumah nenek Genuk. Ia hendak pergi ke sungai, mencari ikan, perutnya lapar sekali karena dari kemarin siang belum makan.

Arin berhasil menangkap dua ekor ikan berukuran agak besar. Ia pun langsung memanggangnya. Setelah matang, ia segera melahap ikan tersebut. Habis satu ekor ikan perutnya sudah terasa kenyang. “Ah, biar ikan yang satu ini buat aku makan sore nanti,” kata Arin. Dia pun membungkus ikan itu dengan daun pisang untuk dimakan nanti sore. Setelah makan, Arin bersandar di bawah pohon, beristirahat sejenak sebelum kembali ke rumah nenek Genuk untuk membuat lilin.

Arin baru hendak beranjak dari tempat duduknya, ketika ada sebuah suara yang berteriak. “Itu dia, itu Arin Pak Menteri!” suara seorang anak sebaya Arin. Anak itu berlari mendekati Arin. Di belakangnya tampak Pak Lurah dan beberapa orang berpakaian kemeja safari.

“Ada apa Ran?” tanya Arin kepada anak laki-laki itu. Rupanya itu Rano, anaknya Pak Lurah. “Itu Rin, kamu dicari Pak Menteri…,” kata Rano sambil menunjuk ke arah Bapak-Bapak berkemeja safari. Arin terkejut dan heran, wajahnya terlihat bingung…

“Arin, Bapak cari kamu ke rumah tidak ada. Untung Rano tahu kebiasaan kamu mencari ikan di sungai ini,” kata Pak Lurah tersenyum. “Ini Bapak menteri Kelistrikan, Pak Dasan Ihsan. Beliau mencarimu.”

“Mencari saya? Memangnya saya kenapa Pak?” tanya Arin dengan wajah bingung.

“Kemarin kan hujan badai Nak Arin, pembangkit listrik di pulau ini dan beberapa pulau lain rusak terkena badai sehingga listrik tidak berfungsi. Jadi, pulau ini membutuhkan alternatif penerangan pengganti lampu listrik sampai pembangkit listriknya selesai diperbaiki. Butuh waktu sekitar 6 bulan untuk memperbaikinya,” kata Pak Menteri.

“Jadi, negara kita membutuhkan alternatif lain untuk penerangan. Dulu kita bisa menggunakan lampu minyak, namun karena bahan bakar minyak tanah sudah langka maka alternatif lainnya adalah lilin. Nah, kita membutuhkan banyak lilin untuk penerangan di malam hari. Nah, di pulau ini kan kamu yang satu-satunya yang bisa membuat lilin…” kata Pak lurah menjelaskan.

“Betul Arin. Dan saya mewakili negara ingin bekerjasama dengan kamu untuk memproduksi lilin. Karena jumlah lilin yang dibutuhkan amat banyak, maka tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat lilin juga banyak. Nanti kami akan menawarkan penduduk pulau ini untuk menjadi tenaga kerjanya. Mereka semua akan mendapatkan upah yang layak. Dan kamu yang akan mengajari mereka semua membuat lilin. Kamu mau kan?” kata Pak Menteri.

“Mau Pak Menteri…,” jawab Arin singkat.

“Oh ya Arin, kamu kelas berapa?” tanya Pak menteri.

“Mm… harusnya saya sudah kelas 4 Pak, tapi karena tak ada biaya, saya jadi tak sekolah,” jawab Arin.

“Iya Pak Menteri. Arin ini yatim piatu, tinggal seorang diri,” kata Pak lurah.

“Oh, begitu… Arin jangan kuatir, mulai sekarang sekolah Arin Bapak yang biayai. Dan, kalau Arin mau, nanti Arin bisa ikut Bapak dan tinggal bersama keluarga Bapak. Tapi ya terserah Arin, mau tinggal di sini atau mau tinggal di ibu kota bersama Bapak,” kata Pak Menteri tersenyum.

“Terima kasih Pak Menteri. Terima kasih…,” Arin senang sekali mendengarnya, ia segera mencium tangan Pak Menteri.

“Ya sudah kalau begitu, saya mau pamit Pak Lurah. Masih harus ke pulau lain. Nanti staf saya yang akan mengurus persiapan produksi lilin di pulau ini. Saya minta Pak Lurah membantu kami untuk mencarikan tenaga kerjanya,” kata Pak Menteri.
Sejak itu, Arin melatih orang-orang membuat lilin sehingga mereka dapat memproduksi lilin untuk kebutuhan negara. Arin pun kemudian sekolah di kota dan tinggal di rumah keluarga Pak Menteri. Namun, setiap bulan sekali dia mengunjungi desa tercintanya. Arin kini hidup berbahagia...